Salah seorang
dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu,
maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan
diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga
berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga
sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan.
Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal
‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu,
tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih
berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri
masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi
boleh, asal jangan basah.” Ungkapan
yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna
apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam.
Kecuali kalau sekedar melakukan nazhor
(melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan
didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya,
diistilahkan demikian. Namun itu
sungguh merupakan perancuan
istilah. Istilah pacaran sudah kadong
dipahami sebagai hubungan lebih intim antara
sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling
berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi
oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak
hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah
pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak
minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di
dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun
ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nama-nama perbuatan haram
tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
0 Response to "Mustahil Ada Pacaran Islam"
Posting Komentar